Tanggal 3 Mei setiap tahun bukan sekadar angka dalam kalender, melainkan momen penting yang dirayakan secara global dengan dua fokus utama: kebebasan pers dan kekayaan warisan budaya. Di tahun 2025, peringatan ini kembali mengingatkan dunia akan pentingnya mempertahankan hak dasar berekspresi sekaligus merawat keberagaman budaya sebagai identitas bersama.

Hari Kebebasan Pers Sedunia: Demokrasi dan Tantangan Media

Sejak dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Desember 1993, 3 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day). Inisiatif ini berawal dari rekomendasi Konferensi Umum UNESCO ke-26 tahun 1991, yang menekankan peran vital pers dalam memajukan demokrasi dan transparansi.

Menurut UNESCO, peringatan ini memiliki tiga tujuan utama:

  1. Mengevaluasi kondisi kebebasan pers global, termasuk ancaman seperti kekerasan terhadap jurnalis, sensor, dan pembatasan akses informasi.

  2. Membela independensi media dari intervensi politik atau ekonomi yang mengikis netralitas.

  3. Memperkuat komitmen internasional untuk melindungi kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia.

Data terbaru menunjukkan, dalam dekade terakhir, lebih dari 1.500 jurnalis di seluruh dunia tewas saat bertugas, dengan sebagian besar kasus tidak terselesaikan. Di Indonesia, meski kebebasan pers dijamin UU, ancaman seperti UU ITE masih kerap digunakan untuk membungkam kritik.

Warisan Budaya: Merayakan Identitas dalam Globalisasi

Selain kebebasan pers, 3 Mei juga menjadi momentum untuk mengapresiasi warisan budaya sebagai pondasi peradaban. UNESCO mencatat, lebih dari 1.200 situs budaya di 167 negara telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia. Di Indonesia, ragam budaya seperti batik, wayang, dan tari tradisional terus dipromosikan agar tidak tergerus modernisasi.

Pada 2025, sejumlah negara merancang kegiatan kolaboratif, seperti pameran seni digital, festival kuliner tradisional, dan workshop pelestarian bahasa daerah. Di tingkat lokal, komunitas adat di Nusantara menggelar ritual syukur dan pentas seni untuk mengedukasi generasi muda tentang kearifan lokal.

Keterkaitan Dua Isu: Kebebasan Informasi dan Pelestarian Budaya

Kedua tema ini saling terkait. Kebebasan pers memungkinkan media memberitakan kekayaan budaya secara objektif, sementara pelestarian budaya membutuhkan ruang ekspresi yang dilindungi. Misalnya, pemberitaan tentang tradisi adat yang hampir punah bisa mendorong kebijakan perlindungan dari pemerintah.

Namun, tantangan masih ada. Di beberapa negara, peliputan isu budaya sering dibatasi dengan dalih “menjaga stabilitas”. Padahal, menurut Reporters Without Borders (2024), transparansi justru memperkuat identitas nasional dan dialog antarbangsa.

Aksi Nyata: Bagaimana Masyarakat Bisa Terlibat?

  1. Dukung Media Independen
    Berlangganan platform jurnalisme yang mengutamakan fakta dan keberagaman suara. Hindari menyebarkan konten provokatif yang merusak kebhinekaan.

  2. Eksplorasi Budaya Lokal
    Kunjungi museum, ikuti festival tradisional, atau pelajari bahasa daerah. Gunakan media sosial untuk mempromosikan warisan budaya ke khalayak global.

  3. Advokasi Kebijakan Pro-Kebebasan
    Dorong pemerintah meratifikasi konvensi internasional perlindungan jurnalis dan merevisi regulasi yang multitafsir, seperti UU ITE.

  4. Kolaborasi Lintas Sektor
    LSM, akademisi, dan pelaku industri kreatif bisa menggagas program edukasi yang mengintegrasikan kebebasan pers dengan pelestarian budaya.

Penutup: Menjaga Warisan, Merawat Kebebasan

Di tengah arus disinformasi dan homogenisasi budaya, 3 Mei 2025 mengajak semua pihak berefleksi: kebebasan pers dan warisan budaya adalah dua sisi mata uang yang sama-sama menentukan masa depan peradaban. Seperti kata Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay: “Tanpa kebebasan informasi, budaya akan kehilangan suaranya. Tanpa budaya, kemanusiaan kehilangan jiwanya.

By Luthfan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *