Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap temuan pemborosan belanja subsidi pupuk sebesar Rp2,92 triliun selama periode 2020-2022 dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2024. Temuan ini menyoroti inefisiensi dalam alokasi pupuk bersubsidi oleh PT Pupuk Indonesia (Persero).
Pokok Temuan BPK
-
Alokasi Tidak Optimal (Rp2,83 triliun):
-
Distribusi pupuk urea bersubsidi tidak mempertimbangkan kapasitas produksi operasional anak perusahaan.
-
Terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan penyaluran di berbagai wilayah.
-
-
Faktor Usia Pabrik:
-
Sebagian besar inefisiensi berasal dari pabrik-pabrik tua yang kurang produktif.
-
Respons PT Pupuk Indonesia
Cindy Sistyarani, VP Komunikasi Korporat PT Pupuk Indonesia, menyatakan:
“Kami menghargai temuan BPK dan berkomitmen menindaklanjuti rekomendasi. Namun, revitalisasi pabrik tua dan pembangunan pabrik baru membutuhkan kebijakan dan skema pendanaan khusus.”
Analisis Penyebab Pemborosan
Faktor | Dampak | Solusi yang Ditawarkan |
---|---|---|
Alokasi tidak berdasarkan kapasitas produksi | Over/under supply di beberapa daerah | Sistem distribusi berbasis data real-time |
Pabrik berusia tua (rata-rata >30 tahun) | Biaya operasional tinggi & efisiensi rendah | Revitalisasi infrastruktur |
Keterbatasan investasi | Sulitnya modernisasi | Skema pendanaan pemerintah-swasta |
Rekomendasi untuk Pemerintah
-
Penyesuaian Skema Subsidi:
-
Evaluasi berbasis kebutuhan riil petani dan kapasitas produksi.
-
-
Dukungan Revitalisasi:
-
Insentif fiskal untuk modernisasi pabrik pupuk.
-
-
Kolaborasi Multisektor:
-
Kemitraan dengan swasta untuk pembangunan pabrik baru.
-
Dampak Jangka Panjang
Pemborosan ini berpotensi memengaruhi:
-
Anggaran belanja negara di sektor pertanian
-
Ketahanan pangan nasional jika tidak segera ditangani
Sumber: Laporan BPK Semester II 2024 dan wawancara dengan PT Pupuk Indonesia