Di tengah kota Beirut yang bergejolak, sebuah serangan Israel telah mengguncang dunia. Pada Jumat lalu, dua tokoh kunci dalam poros perlawanan terhadap Israel tewas dalam serangan yang mengejutkan. Brigadir Jenderal Abbas Nilforoushan, wakil komandan Garda Revolusi Iran, dan Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah yang ditakuti, menjadi korban dalam operasi yang disebut-sebut sebagai penetrasi intelijen Israel.
Berita ini bagaikan petir di siang bolong bagi Iran dan sekutunya. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, dengan nada geram menyebut pembunuhan ini sebagai “kejahatan mengerikan” yang tak akan dibiarkan berlalu begitu saja. Pernyataan ini bukan sekadar retorika kosong, melainkan sebuah ancaman nyata yang membuat dunia menahan napas.
Sementara itu, di lorong-lorong kekuasaan Teheran, para petinggi negara mulai bergerak. Mohammad Baqer Qalibaf, juru bicara parlemen Iran, menegaskan bahwa Poros Perlawanan – aliansi kelompok bersenjata yang didukung Iran – akan terus menghadapi Israel dengan bantuan penuh dari Teheran. Pernyataan ini seolah menjadi genderang perang yang siap ditabuh.
Namun, bukan hanya Israel yang menjadi sasaran kemarahan Iran. Amerika Serikat pun tak luput dari ancaman. Qalibaf dengan tegas menyatakan bahwa AS, yang dianggap terlibat dalam “semua kejahatan ini”, harus siap menerima konsekuensinya. Pernyataan ini semakin memperkeruh situasi geopolitik yang sudah tegang di kawasan.
Di tengah hiruk pikuk ancaman dan kecaman, Mohammad Javad Zarif, Wakil Presiden Iran untuk Urusan Strategis, memberi pernyataan yang lebih diplomatis namun tak kalah mengancam. Ia menegaskan bahwa Iran akan bereaksi “pada waktu yang tepat” dan “sesuai pilihannya” terhadap Israel. Pernyataan ini seolah menjadi peringatan bahwa balas dendam Iran mungkin tak akan datang segera, namun pasti akan tiba.
Pembunuhan dua tokoh kunci ini bukan hanya pukulan telak bagi Iran dan Hizbullah. Ini adalah sebuah kejutan strategis yang berpotensi mengubah peta kekuatan di Timur Tengah. Hilangnya Nasrallah, sosok yang selama ini menjadi simbol perlawanan terhadap Israel, menciptakan kekosongan kepemimpinan yang sulit diisi. Sementara tewasnya Nilforoushan menunjukkan kerentanan bahkan di jajaran tertinggi militer Iran.
Dunia kini menunggu dengan cemas. Akankah ancaman Iran dan sekutunya berujung pada konflik terbuka yang lebih luas? Atau akankah diplomasi masih memiliki kesempatan untuk meredakan ketegangan? Satu hal yang pasti, pembunuhan di Beirut ini telah membuka lembaran baru dalam saga panjang konflik di Timur Tengah, dengan konsekuensi yang mungkin akan terasa hingga bertahun-tahun ke depan.