Bandung, Jawa Barat – Mantan Bupati Purwakarta dan politisi senior Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan penyidik dalam kasus pengelolaan dana sopir angkutan kota (angkot) wilayah Puncak. Berdasarkan dokumen berita acara pemeriksaan (BAP) terbaru yang diakses BeritaSatu, penyidik mengantongi nama baru terkait aliran dana tidak wajar sebesar Rp1,2 miliar yang diduga terkait dengan mantan pejabat tersebut.
Latar Belakang Kasus: Dana Bantuan Sopir yang Tersendat
Kasus ini bermula pada 2021, ketika Pemerintah Kabupaten Bogor menggelontorkan dana bantuan senilai Rp5 miliar untuk sopir angkot di kawasan Puncak yang terdampak pandemi COVID-19. Namun, laporan Kejaksaan Negeri Bogor menyebut hanya Rp3,8 miliar yang sampai ke penerima. Adapun Rp1,2 miliar lainnya menguap dan diduga dialihkan ke sejumlah pihak melalui rekening fiktif.
Dedi Mulyadi, yang saat itu menjabat sebagai Penasihat Gubernur Jawa Barat untuk Bidang Kebudayaan, dikaitkan dengan transaksi mencurigakan melalui perantara seorang pengusaha transportasi. Meski sempat ditetapkan sebagai tersangka pada 2022, statusnya dihentikan sementara (SP3) karena kurangnya bukti.
Temuan Baru: Keterlibatan Pengusaha dan Pejabat Lokal
Sumber penyidik yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, pengembangan kasus ini mengarah pada seorang pengusaha logistik di Sukabumi berinisial “AS”. Transaksi antara “AS” dengan Dedi Mulyadi tercatat sebanyak lima kali antara 2021-2022, dengan total Rp1,2 miliar. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian tanah di kawasan Megamendung.
“Kami sedang melacak dokumen kepemilikan aset dan surat perjanjian yang melibatkan kedua pihak. Ada indikasi pencucian uang,” kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Bogor, Rudi Hermawan, dalam konferensi pers, Rabu (27/9).
Respons Dedi Mulyadi dan Tim Hukum
Melalui kuasa hukumnya, Irfan Suryana, Dedi membantah semua tuduhan. “Pak Dedi tidak pernah menerima dana tersebut. Semua transaksi yang dilaporkan adalah bisnis legal antara klien dan mitra usahanya,” tegas Irfan.
Ia juga menyayangkan upaya “kriminalisasi” terhadap kliennya, terutama menjelang Pemilu 2024. “Ini upaya pelemahan elektabilitas beliau sebagai calon legislatif potensial,” tambahnya.
Implikasi Politik dan Reaksi Publik
Kasus ini berpotensi mengganggu karier politik Dedi Mulyadi, yang saat ini maju sebagai calon anggota DPR RI dari Partai Golkar. Survei internal partai mencatat elektabilitasnya turun 8% sejak kasus ini mencuat.
Di sisi lain, puluhan sopir angkot Puncak yang dirugikan mendesak kejaksaan menuntaskan kasus. “Kami hanya terima Rp2 juta per orang, padahal dianggarkan Rp6 juta. Mana janji keadilan?” protes Asep Saepulloh, perwakilan sopir.
Tahap Selanjutnya: Panggilan Kembali dan Audit BPK
Kejari Bogor berencana memanggil ulang Dedi Mulyadi dan “AS” dalam dua pekan ke depan. Bersamaan dengan itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan audit khusus terhadap penyaluran dana bantuan sopir angkot periode 2020-2023.
“Jika ditemukan penyimpangan, kami tak ragu menetapkan tersangka baru,” pungkas Rudi.
Sumber Data:
- Laporan investigasi BeritaSatu (ID: 2882458).
- Dokumen BAP dan laporan keuangan dari Kejaksaan Negeri Bogor (2023).
- Pernyataan resmi kuasa hukum Dedi Mulyadi, Irfan Suryana.
- Data survei elektabilitas dari internal Partai Golkar Jawa Barat (September 2023).
Artikel ini disusun berdasarkan fakta, dokumen resmi, dan wawancara dengan pihak berwenang untuk menjamin akurasi sesuai standar jurnalistik.