Georgia memasuki malam keempat aksi protes besar-besaran yang melibatkan bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi di ibu kota Tbilisi, Minggu (1/12/2024). Aksi ini dipicu oleh keputusan pemerintah untuk menangguhkan pembicaraan bergabung dengan Uni Eropa selama empat tahun.
Dilansir dari Reuters, gelombang protes telah menyebar ke berbagai kota lain di Georgia, mencerminkan kemarahan publik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap otoriter dan pro-Rusia. Di pusat kota Tbilisi, ribuan demonstran memadati Jalan Rustaveli, melemparkan kembang api ke arah polisi yang merespons dengan meriam air.
Nikoloz Miruashvili, salah satu pengunjuk rasa, menyatakan, “Cukup melelahkan melihat pemerintah kita tidak mendengar keinginan rakyat. Saya di sini untuk membela masa depan Eropa dan demokrasi negara saya.”
Di luar Tbilisi, aksi serupa dilaporkan terjadi di setidaknya delapan kota, termasuk pemblokiran jalan di pelabuhan utama Poti. Di Khashuri, massa merobohkan bendera partai Georgian Dream dan melempari kantor partai dengan telur.
Perdana Menteri Irakli Kobakhidze mengabaikan kritik Amerika Serikat (AS), yang menuding penggunaan kekuatan berlebihan terhadap pengunjuk rasa. Dia juga mengecilkan keputusan Washington untuk menghentikan kemitraan strategis dengan Georgia, menyebutnya sebagai “peristiwa sementara.”
Presiden pro-Barat Georgia, Salome Zourabichvili, menuduh pemilu terakhir telah dicurangi dan menyerukan tekanan terhadap Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan hasilnya. Dia menyatakan tidak akan menyerahkan jabatan kepada presiden baru yang dianggapnya tidak sah.
Uni Eropa dan Amerika Serikat menyatakan kekhawatiran atas arah kebijakan Georgia. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menyampaikan dukungannya kepada para demonstran, dengan mengatakan, “Kami bersama rakyat Georgia dan pilihan mereka untuk masa depan Eropa.”
Di sisi lain, Rusia memperingatkan bahwa situasi di Georgia mirip dengan “jalan gelap yang dilalui Ukraina,” merujuk pada revolusi yang berakhir buruk. Dmitry Medvedev, mantan presiden Rusia, menuding adanya upaya revolusi yang didalangi Barat di wilayah bekas Soviet.
Ketegangan ini mencerminkan gesekan yang lebih besar antara aspirasi pro-Barat sebagian besar rakyat Georgia dan langkah pemerintah yang dianggap mengarah ke orbit Rusia. Georgian Dream juga mengesahkan undang-undang kontroversial, seperti kewajiban LSM untuk mendaftar sebagai “agen asing” jika menerima lebih dari 20% pendanaan dari luar negeri, serta pembatasan hak LGBT.