Jakarta – Hendry Lie, terdakwa dalam kasus korupsi timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022, mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Pendiri dan komisaris Sriwijaya Air tersebut membantah segala keterlibatannya dalam kasus ini. Hal ini diungkapkan oleh penasihat hukum Hendry Lie saat membacakan surat eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin, 3 Februari 2024.
Menurut pengacara Hendry Lie, kliennya didakwa sebagai pemegang saham dan beneficial owner (penerima manfaat) PT Tinindo Internusa, salah satu perusahaan smelter yang bekerja sama dengan PT Timah. Namun, pengacara tersebut menegaskan bahwa Hendry Lie bukanlah pengurus maupun pemegang saham PT Tinindo Internusa selama periode 2015-2022.
“Faktanya, terdakwa bukan merupakan pengurus maupun pemegang saham PT Tinindo Internusa periode 2015-2022,” tegas pengacara Hendry Lie di hadapan majelis hakim.
Selain itu, pengacara tersebut menyatakan bahwa Hendry Lie tidak terlibat dalam proses kerja sama sewa menyewa pengolahan timah antara PT Timah dengan perusahaan smelter swasta. Hendry juga disebut tidak mengetahui dan tidak pernah hadir dalam pertemuan-pertemuan yang membahas kerja sama tersebut.
“Sejak kerja sama sewa menyewa pengolahan timah antara PT Timah dengan perusahaan smelter swasta mulai dibahas, tidak pernah satu kalipun terdakwa hadir dalam pertemuan,” ujar pengacara Hendry Lie. “Terdakwa juga sama sekali tidak terlibat dalam proses penandatanganan kerja sama antara PT Tinindo Internusa dengan PT Timah Tbk.”
Atas dasar itu, penasihat hukum Hendry Lie meminta majelis hakim menerima nota keberatan yang diajukan dan menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima. Selain itu, pengacara tersebut meminta agar Hendry Lie tidak dipersalahkan dan dibebaskan dari tahanan. Terakhir, majelis hakim diminta merehabilitasi nama baik, kedudukan, dan harkat martabat Hendry Lie.
Dakwaan JPU: Kerugian Negara Rp 300 Triliun
Sebelumnya, JPU mendakwa Hendry Lie sebagai beneficial owner PT Tinindo Internusa (PT TIN) yang dianggap turut merugikan keuangan negara dalam kasus korupsi timah. JPU menyatakan bahwa kerugian negara mencapai Rp 300 triliun lebih. Dakwaan ini disampaikan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 30 Januari 2025.
JPU menyebut bahwa Hendry Lie memerintahkan General Manager PT TIN, Rosalina, dan Marketing PT Tin, Fandy Lingga, untuk membuat dan menandatangani surat penawaran kerja sama sewa alat pengolahan timah kepada PT Timah pada 3 Agustus 2018. Surat tersebut juga melibatkan smelter swasta lain seperti PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa.
JPU juga menuduh Hendry Lie mengetahui dan menyetujui tindakan Harvey Moeis, yang bersama dengan petinggi smelter swasta, melakukan negosiasi dengan PT Timah tentang sewa smelter tanpa didahului studi kelayakan atau kajian mendalam. Harga sewa yang disepakati adalah US4.000 3.700 per ton untuk empat smelter lainnya.
Selain itu, Hendry Lie disebut mengetahui dan menyetujui pembayaran biaya pengamanan sebesar US$ 500-750 per ton kepada Harvey Moeis, yang dicatat sebagai dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). JPU juga menyatakan bahwa Hendry Lie terlibat dalam pembentukan perusahaan boneka atau cangkang, seperti CV Bukit Persadaraya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa, yang digunakan untuk mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Tuntutan Hukum
Hendry Lie didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sidang akan dilanjutkan untuk mendengarkan tanggapan JPU atas eksepsi yang diajukan oleh Hendry Lie. Sementara itu, publik menunggu keputusan majelis hakim terkait keberatan yang diajukan oleh terdakwa.