Teheran — Pemerintah Iran mengklaim telah memperoleh ribuan dokumen rahasia milik Israel yang mencakup informasi sensitif terkait program nuklir, hubungan luar negeri, hingga kemampuan pertahanan negara tersebut. Pengumuman mengejutkan ini disampaikan langsung oleh Menteri Intelijen Iran, Esmail Khatib, dalam wawancara yang disiarkan oleh media resmi Iran, Selasa (10/6).
Khatib menyebut dokumen-dokumen tersebut sebagai “harta karun”, dan menyatakan bahwa proses pemindahannya dilakukan secara rahasia ke lokasi aman di Iran. “Menyebutnya ribuan dokumen saja mungkin sebuah peremehan,” kata Khatib, dikutip dari Newsweek. Ia menambahkan, materi itu akan segera dipublikasikan ke publik dalam waktu dekat.
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah Israel belum memberikan tanggapan resmi atas klaim Iran. Namun, pernyataan Khatib muncul di tengah meningkatnya ketegangan antara kedua negara serta meningkatnya sorotan internasional terhadap aktivitas nuklir Iran.
Menurut media pemerintah Iran, keberhasilan penguasaan dokumen tersebut merupakan bagian dari operasi intelijen besar dan kompleks. Meski tidak dijelaskan secara rinci bagaimana dokumen itu diperoleh, spekulasi merebak soal keterkaitan dengan serangan siber terhadap fasilitas nuklir Israel pada 2023 dan penangkapan sejumlah warga Israel yang dituduh menjadi mata-mata untuk Iran.
Tak lama setelah pengumuman Khatib, sebuah akun media sosial yang dikaitkan dengan militer Iran mengunggah pesan dalam bahasa Ibrani: “Kami kini tahu semua rahasiamu.” Pesan ini dinilai sebagai bagian dari kampanye psikologis Teheran terhadap Tel Aviv.
Ketegangan antara Iran dan Israel telah berlangsung lama, dengan saling tuduh antara kedua negara. Iran menuduh Israel terlibat dalam pembunuhan para ilmuwan nuklirnya, sementara Israel menuding Teheran sebagai penyokong milisi-milisi di kawasan yang kerap menyerang kepentingan Israel.
Tahun lalu, kedua negara bahkan sempat terlibat dalam aksi saling serang terbatas setelah Israel menggempur konsulat Iran di Damaskus. Meski tidak berlanjut menjadi konflik berskala penuh, hubungan kedua negara tetap berada dalam status genting.
Pengungkapan soal dokumen rahasia Israel ini datang di saat yang sangat sensitif. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) baru-baru ini melaporkan bahwa Iran melakukan aktivitas nuklir yang tidak dilaporkan. Temuan tersebut memicu kekhawatiran baru dari komunitas internasional terkait tujuan sebenarnya dari program nuklir Iran.
Pemerintah Iran bersikukuh bahwa program nuklirnya bertujuan damai. Namun, Amerika Serikat tetap menekan Teheran untuk membatasi pengayaan uranium dan memberikan transparansi lebih besar. Upaya diplomatik saat ini mengalami kebuntuan, dengan Iran menolak proposal terbaru AS karena tidak mencakup pencabutan sanksi—sebuah tuntutan utama dari pihak Teheran.
Presiden AS saat ini, Donald Trump, bahkan menyatakan peringatan tegas: “Waktu hampir habis” bagi Iran untuk mencapai kesepakatan baru terkait nuklir.
Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft, menilai bahwa perkembangan ini mencerminkan intensitas perang intelijen antara Iran dan Israel. “Melihat penangkapan baru-baru ini di Israel, tampaknya Teheran berhasil merekrut sejumlah besar informan. Namun, apakah dokumen yang diklaim Iran benar-benar penting, masih harus dilihat,” kata Parsi.
Ia juga menyebut bahwa Iran kemungkinan berniat menyoroti program senjata nuklir Israel yang selama ini tidak diakui secara resmi. “Berbeda dengan Iran, Israel bukan pihak dalam Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), sehingga secara hukum tidak terikat untuk tidak mengembangkan senjata nuklir.”
Jika dokumen tersebut benar-benar dirilis, pengamat memperkirakan dampak geopolitik yang besar: mulai dari ketegangan diplomatik, kemungkinan respons militer Israel, hingga gangguan lebih lanjut terhadap jalannya negosiasi nuklir antara Iran dan Barat.
Sementara itu, IAEA dijadwalkan akan mengeluarkan kecaman resmi terhadap Iran dalam waktu dekat. Di sisi lain, Teheran tengah mempersiapkan kontra-proposal atas tawaran terbaru AS—mempertegas bahwa kawasan Timur Tengah kembali berada di ambang eskalasi yang sulit diprediksi.