Pekerja PT Yihong Food Indonesia di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengalami dilema setelah aksi demonstrasi menuntut penutupan perusahaan pada 2023 berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kini, sebagian dari mereka justru meminta agar perusahaan dioperasikan kembali agar bisa bekerja. Kisah ini menyoroti kompleksitas persoalan hubungan industrial dan dampak ekonomi bagi buruh.
Aksi unjuk rasa buruh PT Yihong sebelumnya dipicu oleh tuntutan perbaikan hak-hak normatif, seperti pembayaran upah yang tidak sesuai UMP, tunjangan hari raya (THR) yang tertunda, serta kondisi kerja yang dianggap tidak manusiawi. Protes ini berakhir dengan penutupan pabrik pada akhir 2023, yang menyebabkan ratusan pekerja kehilangan mata pencaharian.Namun, beberapa bulan setelah pabrik tutup, sejumlah mantan pekerja justru mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah dan pihak perusahaan untuk membuka kembali PT Yihong. Mereka mengaku kesulitan mencari pekerjaan baru di tengah lapangan kerja yang terbatas. “Kami sadar ada masalah internal, tetapi PHK bukan solusi. Kami butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarga,” ujar salah satu mantan pekerja yang enggan disebutkan namanya.Pihak perusahaan menyatakan bahwa penutupan pabrik dilakukan akibat kerugian finansial dan tekanan ekonomi pascapandemi. Meski demikian, hingga saat ini belum ada kepastian mengenai rencana reaktivasi operasi. Dinas Tenaga Kerja setempat mengaku sedang memediasi dialog antara pekerja, perusahaan, dan investor untuk mencari solusi win-win solution.Analis ketenagakerjaan menilai kasus ini mencerminkan kurangnya komunikasi antara buruh dan manajemen, serta lemahnya pengawasan pemerintah dalam memastikan hak pekerja terpenuhi. “Buruh terjebak dalam situasi dilematis: memperjuangkan hak atau mempertahankan pekerjaan. Perlu ada skema perlindungan sosial yang lebih baik,” pungkasnya.