BANDUNG – Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirim pelajar bermasalah ke sekolah bergaya militer kembali menuai sorotan tajam. Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, kritik datang dari pakar hukum tata negara STIH IBLAM, Radian Syam, yang menyebut pendekatan tersebut bukan solusi jangka panjang dan berisiko melanggar hak pendidikan anak.
Menurut Radian, pendekatan militer terhadap pelajar yang dianggap bermasalah justru berpotensi menciptakan trauma baru, terutama jika dilakukan tanpa pendampingan pedagogis yang tepat. “Pendidikan itu membangun, bukan menghukum,” ujarnya, Jumat (2/5/2025).
Ia menegaskan bahwa solusi terbaik untuk mengatasi kenakalan remaja bukan dengan militerisasi, melainkan lewat pendidikan karakter dan hukum yang inklusif sejak dini. “Kalau kita bangun kesadaran hukum sejak kecil, tak perlu sampai anak-anak dikirim ke barak,” tegasnya.
Kritik ini muncul setelah Gubernur Dedi menyatakan bahwa para pelajar dikirim ke Resimen Stirayuda Kostrad karena orang tua mereka dianggap tidak mampu lagi mendidik. Namun, menurut Radian, pernyataan itu justru menyoroti lemahnya sistem pendidikan dan tidak adanya pendampingan negara terhadap keluarga dalam menghadapi persoalan tersebut.
“Apakah betul pelajar yang ‘nakal’ harus langsung dikirim ke sistem semimiliter? Bukankah sekolah seharusnya jadi tempat rehabilitasi karakter, bukan tempat represi?” katanya.
Lebih jauh, Radian menilai kebijakan ini reaktif dan tidak didasarkan pada kajian psikologis serta pedagogis yang mendalam. Ia menyarankan agar pemerintah daerah seperti Jawa Barat fokus pada reformasi kurikulum yang menanamkan nilai hukum, keadilan, dan tanggung jawab sosial kepada siswa.
“Program seperti simulasi sidang, kunjungan ke pengadilan, hingga pelatihan HAM bisa jauh lebih membekas dan membangun karakter,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya peran negara dalam mendidik dan melindungi anak-anak, bukan menyerahkan mereka ke sistem militer. “Kalau negara hadir lewat pendidikan yang inklusif dan mendidik, kenapa harus menyerah dan menyerahkan anak-anak ke sistem militer?” pungkasnya.