Ki Hajar Dewantara tercatat sebagai Menteri Pengajaran pertama Indonesia, menjabat dari 2 September hingga 14 November 1945. Sebagai cucu pahlawan nasional Nyi Ageng Serang, ia mewariskan filosofi pendidikan yang masih relevan hingga kini. “Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi pembentukan karakter dan kemandirian berpikir,” tulisnya dalam salah satu pidato, dikutip dari arsip Kementerian Pendidikan.
Perjuangannya dimulai dengan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa pada 1922, sekolah berbasis kebangsaan yang menolak diskriminasi pendidikan kolonial Belanda. Prinsip “semua anak adalah rakyat” menjadi fondasi sistem pendidikan inklusif yang ia perjuangkan.
Trilogi Pendidikan: Warisan Abadi untuk Guru dan Murid
Ki Hajar Dewantara mencetuskan trilogi pendidikan yang menjadi pedoman bagi pendidik di Indonesia:
-
Ing Ngarsa Sung Tuladha (Di depan memberi contoh).
-
Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun semangat).
-
Tut Wuri Handayani (Di belakang memberi dorongan).
Filosofi ini menekankan peran guru sebagai teladan, fasilitator, dan motivator. “Semboyan Tut Wuri Handayani bahkan diabadikan dalam logo Kementerian Pendidikan, sebagai pengingat bahwa pendidikan harus memerdekakan manusia,” jelas Prof. Bambang Sudibyo, sejarawan pendidikan, dalam wawancara dengan Kompas.com.
Hardiknas 2025: Refleksi atas Tantangan Pendidikan Modern
Peringatan Hardiknas tahun ini diwarnai upacara di seluruh instansi pendidikan, mulai dari sekolah hingga kampus. Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, dalam pidatonya menyerukan revitalisasi semangat Ki Hajar Dewantara di tengah disrupsi teknologi. “Guru tak hanya mengajar, tetapi harus menjadi coach yang memandu siswa menghadapi kompleksitas zaman,” ujarnya.
Meski demikian, tantangan seperti kesenjangan akses pendidikan di daerah terpencil dan kualitas guru masih menjadi pekerjaan rumah. Data Kemendikbud 2024 menunjukkan, 15% sekolah di Indonesia Timur belum memiliki akses internet memadai untuk pembelajaran digital.
Warisan Ki Hajar di Era Digital
Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai tokoh pergerakan yang menggunakan media sebagai alat penyadaran. Pada 1913, ia menulis esai berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang mengkritik kebijakan kolonial. Esai itu menjadi bukti bahwa pendidikan dan literasi adalah senjata melawan penindasan.
“Semangat pantang menyerah Ki Hajar harus diadaptasi dalam konteks kekinian. Pendidikan hari ini bukan hanya di kelas, tetapi juga di ruang digital,” tegas Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat, dalam seminar nasional memperingati Hardiknas.