PHNOM PENH, CIB – Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali menunjukkan babak baru. Kedua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut kini mulai mengalihkan fokus mereka untuk mencari sekutu dagang dan geopolitik baru—dan Asia Tenggara menjadi kawasan yang paling diperebutkan.

Presiden China Xi Jinping memperkuat pendekatan diplomatiknya dengan menggagas konsep Asian Family, yang digaungkan dalam lawatannya ke tiga negara strategis di Asia Tenggara: Kamboja, Vietnam, dan Malaysia. Dalam kunjungan ini, Xi berupaya membangun citra kebersamaan kawasan di tengah meningkatnya tekanan geopolitik global.

“Kami akan bersama-sama menjaga masa depan cerah keluarga Asia,” ujar Xi, dikutip dari Bloomberg.

China dan Malaysia dalam pertemuan tersebut menyatakan komitmen untuk meningkatkan kerja sama industri, rantai pasok, pertukaran data, dan pengembangan talenta. Keduanya juga menandatangani Program Lima Tahun Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan, serta membentuk komunitas strategis tingkat tinggi Malaysia-China.

Di Vietnam, Presiden Xi menandatangani 45 kesepakatan ekonomi. Baik Vietnam maupun China sepakat untuk menolak praktik unilateralisme dan upaya yang dapat mengganggu stabilitas kawasan. Sementara itu, di Kamboja, Xi menyuarakan penolakan terhadap hegemoni dan intervensi kekuatan eksternal, mempertegas posisi Beijing yang menentang pengaruh Barat di Asia.

Langkah Balasan AS: Sanksi dan Lobi Tarif

Di sisi lain, Amerika Serikat di bawah pengaruh kebijakan dagang Presiden Donald Trump tengah menggalang dukungan dari negara-negara sekutu untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap China. Menurut laporan Bloomberg, penasihat ekonomi Trump tengah berdiskusi dengan puluhan negara guna menekan Beijing melalui kebijakan tarif dan pembatasan perdagangan.

Langkah ini bukan hanya ditujukan untuk membatasi masuknya produk China, tetapi juga mencegah negara-negara lain menjadi saluran alternatif bagi ekspor China. Salah satu contoh yang mencuat adalah permintaan AS kepada Meksiko untuk menaikkan tarif impor kendaraan listrik asal China. Namun, Kementerian Ekonomi Meksiko menolak memberikan komentar.

Sumber internal menyebutkan, negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Thailand menjadi sasaran utama karena dianggap sebagai perpanjangan tangan manufaktur China. Penasihat perdagangan AS, Peter Navarro, bahkan menyebut Vietnam sebagai tempat di mana banyak barang China ditempatkan untuk dijual kembali ke pasar global.

Dilema Asia Tenggara

Di tengah ketegangan global ini, negara-negara Asia Tenggara berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka menikmati manfaat ekonomi dari kemitraan dengan China, terutama dalam bentuk investasi dan perdagangan. Di sisi lain, tekanan dari AS untuk memilih pihak dalam konflik ini kian nyata, terutama bagi negara-negara yang memiliki ketergantungan ekspor tinggi ke pasar Amerika.

Pakar hubungan internasional dari Universitas Malaya, Dr. Hadi Bin Roslan, menyatakan bahwa negara-negara ASEAN harus bermain cerdas. “Kawasan ini harus mendorong pendekatan non-blok, memaksimalkan posisi strategisnya di tengah rivalitas dua kekuatan,” ujarnya kepada KONTAN.

Sementara itu, para ekonom memperkirakan bahwa ketidakpastian global akibat ketegangan ini akan berdampak pada kebijakan moneter regional. Bank Indonesia, misalnya, diprediksi akan menahan suku bunga acuannya untuk menjaga stabilitas rupiah dalam menghadapi gejolak global.

Penutup

Dengan kedua raksasa ekonomi global kini aktif melobi dan membentuk blok dagang serta politik baru, Asia Tenggara menjadi arena penting dalam pertarungan pengaruh abad ke-21.

By Luthfan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *