Ramallah, Tepi Barat – Kasus Ahmad Manasra, pemuda Palestina yang dipenjara Israel sejak berusia 13 tahun pada 2015, kembali mencuat seiring kampanye global untuk pembebasannya. Namun, aktivis hak asasi manusia (HAM) menegaskan bahwa pembebasan Manasra tidak akan menghapus praktik sistemik Israel dalam menahan dan memperlakukan anak-anak Palestina secara tidak manusiawi.

Latar Belakang: Dari Tuduhan Hingga Interogasi Kontroversial
Ahmad Manasra ditangkap pada Oktober 2015 setelah dituduh terlibat dalam serangan pisau terhadap warga Israel di Yerusalem Timur. Saat kejadian, ia berusia 13 tahun, sementara sepupunya, Hassan Manasra (15), ditembak mati oleh polisi Israel. Video interogasi Manasra yang bocor pada 2016 menunjukkan penyidik Israel meneriaki dan mengancamnya tanpa kehadiran orang tua atau pengacara, melanggar hukum internasional tentang perlindungan anak.

Meski pengadilan Israel akhirnya tidak menemukan bukti kuat keterlibatannya dalam serangan tersebut, Manasra dihukum 12 tahun penjara pada 2022 atas dakwaan “percobaan pembunuhan”. Kini, di usia 21 tahun, kesehatannya dilaporkan memburuk akibat isolasi panjang dan minimnya akses perawatan medis.

Kampanye Global dan Respons Israel
Kampanye #FreeAhmadManasra telah mendunia, didukung oleh organisasi HAM seperti Amnesty International dan Defence for Children International (DCI). Mereka menuntut pembebasan segera Manasra, mengingat statusnya sebagai korban perlakuan kejam saat masih di bawah umur.

Namun, pemerintah Israel tetap bersikukuh bahwa hukum mereka “tidak membedakan usia”. Dalam pernyataan resmi, Kementerian Luar Negeri Israel menyebut, “Setiap individu yang melakukan kekerasan akan diadili sesuai peraturan.”

Fakta di Balik Penahanan Anak Palestina
Data dari DCI Palestine (2023) mencatat, sejak 2000, Israel telah menahan sekitar 13.000 anak Palestina di bawah usia 18 tahun, dengan tuduhan mulai dari melempar batu hingga “ancaman keamanan”. Sekitar 160-200 anak dipenjara setiap tahun, sering kali mengalami interogasi koersif, kekerasan fisik, dan pengadilan di pengadilan militer yang memiliki tingkat vonis bersih 99%.

“Israel menggunakan penahanan anak sebagai alat untuk mengintimidasi masyarakat Palestina. Ini adalah bagian dari politik apartheid yang bertujuan memutus masa depan generasi mereka,” ungkap Ayed Abu Eqtaish, peneliti DCI Palestine.

Dampak Psikologis dan Tekanan Internasional
Laporan UNICEF (2023) menyebutkan bahwa 90% anak Palestina yang ditahan Israel mengalami kekerasan verbal atau fisik selama proses penahanan. Banyak dari mereka menderita trauma jangka panjang, termasuk Manasra yang didiagnosa gangguan mental akibat isolasi sel selama bertahun-tahun.

PBB dan Uni Eropa telah berulang kali menyerukan Israel untuk menghentikan penahanan anak-anak Palestina, tetapi langkah konkret seperti sanksi belum diterapkan. Sementara itu, aktivis terus mendesak masyarakat internasional untuk tidak hanya fokus pada kasus individu, tetapi juga menekan Israel mengakhiri pelanggaran HAM sistematis.

Penutup: Pembebasan Simbolis dan Perjuangan yang Berlanjut
Meski pembebasan Ahmad Manasra menjadi harapan bagi keluarga dan pendukungnya, para pegiat HAM menekankan bahwa ini hanyalah satu titik dalam perlawanan panjang. “Membebaskan Manasra tidak membatalkan kekejian Israel selama puluhan tahun. Selama penjajahan dan apartheid berlanjut, anak-anak Palestina akan tetap menjadi target,” tepas Sarah Leah Whitson, Direktur Executive DAWN.


Sumber Data:

  1. Laporan investigasi Pikiran Rakyat (PR-019231154).
  2. Data penahanan anak dari Defence for Children International (DCI) Palestine (2023).
  3. Laporan UNICEF tentang perlakuan terhadap anak Palestina di penjara Israel (2023).
  4. Dokumen pengadilan dan video interogasi Ahmad Manasra yang diunggah oleh organisasi HAM.

*Artikel ini disusun berdasarkan fakta, data resmi, dan wawancara dengan sumber tepercaya untuk memastikan akurasi sesuai standar jurnalistik.

By Luthfan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *