Ciroyom, 25 November 2024 – Di tengah derasnya hujan, Peri (49), seorang sopir angkot yang sudah bertahun-tahun melayani rute Ciroyom, menatap tajam ke arah jalur perlintasan kereta api JPL 157 yang kini telah ditutup. Mata lelaki itu menyiratkan kegetiran, mengingat bagaimana jalur tersebut dulu menjadi akses utama yang mempermudah perjalanan warga dan meningkatkan penghasilannya.
Sebelum ditutup, jalur perlintasan itu cukup ramai dilewati kendaraan, meskipun tak seramai sebelum tahun 2010. Namun, bagi Peri, jumlah penumpang di masa itu sudah cukup untuk menghidupi keluarganya. Kondisi berubah drastis sejak PT KAI menutup JPL 157 Ciroyom dan mengalihkan kendaraan ke flyover Ciroyom yang baru dibuka.
Dampak Bagi Pengemudi dan Warga
Penutupan jalur itu membawa dampak besar bagi banyak pihak, termasuk Peri dan rekan-rekan sopir angkot lainnya. Menurutnya, banyak penumpang yang tidak mengetahui jalur tersebut telah ditutup. Mereka memilih naik angkot di lokasi lain, sehingga jumlah penumpangnya turun drastis.
“Sekarang paling sedikit sehari pernah di bawah sepuluh penumpang. (Jumlah) nggak nentu. Dulu mah nggak,” ujar Peri sambil berusaha mengalahkan suara hujan.
Flyover Ciroyom yang menggantikan perlintasan tersebut memang berfungsi sebagai pengalihan arus, tetapi bagi warga, jalur itu tidak ideal. Perjalanan yang dulu hanya memakan waktu 1-2 menit dari Ciroyom ke sekitar Alun-alun Cicendo kini menjadi lebih lama dan mahal. Para pedagang juga merasakan imbasnya, karena harus mendorong gerobak mereka melewati jalur flyover yang menanjak, menambah kesulitan dalam menjalankan usaha.
Bahaya dan Kekhawatiran Baru
Selain jarak tempuh yang lebih jauh, warga juga khawatir tentang risiko lain yang muncul akibat penutupan jalur. Menurut Peri, meski jalur perlintasan kereta sebelumnya memiliki risiko tabrakan, flyover juga membawa bahaya tersendiri, terutama bagi pejalan kaki.
Namun, bagi Peri, tantangan itu harus diterima meski dengan berat hati. “Nggak apa-apa kalau saya mah, tapi yang lain banyak yang ngeluh,” katanya.
Harapan Warga Ciroyom
Sebagai seorang sopir angkot dan warga biasa, Peri menyadari sulitnya menentang kebijakan pemerintah. Namun, ia dan warga lainnya berharap jalur JPL 157 Ciroyom bisa dibuka kembali. Dengan begitu, kesulitan yang dialami pengemudi, pedagang, dan masyarakat bisa teratasi.
“Harapannya mah dibuka lagi biar nggak muter. Kasihan pedagang. Ya sebagai masyarakat biasa, mau ngelawan pemerintah ya gimana,” ungkapnya dengan nada pasrah.
Penutupan JPL 157 Ciroyom menjadi simbol dilema antara kebutuhan modernisasi dan dampak terhadap masyarakat kecil. Di balik kebijakan yang tampaknya solutif, tersimpan cerita-cerita warga yang kehilangan kemudahan akses, penghasilan, dan kenyamanan.