Bandung, 25 April 2025 — Sebanyak sembilan anggota Senat Akademik (SA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mendesak Majelis Wali Amanat (MWA) untuk segera merevisi Peraturan MWA Nomor 1 Tahun 2025 terkait mekanisme pemilihan rektor periode 2025–2030. Mereka menilai sejumlah pasal dalam regulasi tersebut rawan membuka ruang konspirasi dan tidak sejalan dengan semangat demokrasi serta statuta UPI.

“Kami sejak awal sudah pesimistis bahwa proses pemilihan rektor UPI akan berlangsung demokratis, adil, dan transparan,” kata Elly Malihah, anggota SA yang mewakili delapan anggota lainnya, Jumat (25/4). Ia menyoroti sistem pemilihan anggota MWA sebelumnya yang menggunakan skema one person nine vote sebagai preseden buruk yang memungkinkan dominasi kelompok mayoritas.

Elly menyampaikan bahwa harapan sempat muncul saat Ketua MWA, Nanan Soekarna, menjanjikan pemilihan rektor bebas dari praktik tersembunyi melalui slogan “values for value, full commitment, no conspiracy.” Namun, sembilan anggota SA tetap mengajukan surat audiensi untuk menindaklanjuti kekhawatiran mereka. Setelah menunggu lebih dari dua pekan, pertemuan antara SA dan MWA akhirnya terlaksana pada Selasa (15/4) di Gedung University Center UPI.

Dalam pertemuan tersebut, para anggota SA menyoroti Pasal 17 yang mengatur metode penyaringan calon rektor menjadi tiga besar melalui pemungutan suara one person three vote. Menurut mereka, sistem ini membuka celah bagi kelompok tertentu untuk memanipulasi hasil dengan hanya mengedepankan kandidat dari koalisi internal, menyisihkan calon lainnya.

Selain itu, Elly juga mengkritik pengurangan porsi suara Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dari bobot 35% menjadi hanya setara satu suara dalam tahap penyaringan. “Ketentuan ini cacat hukum dan berpotensi membuat proses penetapan rektor tidak sah dan tidak adil,” tegas Elly, yang juga merupakan guru besar Sosiologi Pendidikan.

Dukungan terhadap revisi juga datang dari Nugraha, guru besar Ilmu Manajemen UPI. Ia menyebut bahwa demokrasi kampus seharusnya menjunjung prinsip one man, one vote. Menurutnya, sistem voting yang tidak setara justru dapat menimbulkan dominasi kelompok tertentu dalam keputusan strategis kampus, termasuk penganggaran dan pengawasan.

“Kalau satu orang bisa punya tiga bahkan sembilan suara, lalu di mana letak keadilan bagi yang lain?” tanya Nugraha. Ia menegaskan perlunya reformasi sistem pemungutan suara, tidak hanya dalam pemilihan rektor, tetapi juga di seluruh jenjang struktural kampus.

Desakan sembilan anggota SA ini menambah tekanan terhadap MWA UPI untuk membuka kembali ruang diskusi dan peninjauan ulang regulasi, demi menciptakan proses pemilihan rektor yang adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip tata kelola perguruan tinggi yang demokratis.

By Luthfan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *